Jakarta | Mata Aktual News – Palang Merah Indonesia (PMI) dikenal sebagai organisasi kemanusiaan yang netral dan independen. Hal ini telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan, yang menempatkan PMI sebagai satu-satunya perhimpunan nasional berasaskan kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan.
Namun, idealitas itu dinilai jauh berbeda dengan praktik pemilihan ketua di tubuh PMI. Agung Nugroho, Ketua Umum Rekan Indonesia, menilai demokrasi di dalam PMI kerap hanya sebatas formalitas.
“Musyawarah Nasional, Muswil, atau Muskab/Muskot memang dibuka dengan tata tertib demokratis. Tapi siapa pemenang biasanya sudah ditentukan jauh sebelum forum dimulai,” kata Agung, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, restu kepala daerah menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan ketua. Padahal dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMI, gubernur maupun kepala daerah hanya berfungsi sebagai Dewan Pelindung yang tugasnya sebatas memberi perlindungan politik, hukum, dan administratif.
“Yang terjadi di lapangan, gubernur sering menggerakkan wali kota, bupati, hingga camat untuk memastikan suara bulat mendukung calon tertentu. Pendaftaran calon tetap dibuka, tapi lebih sering hanya formalitas agar terkesan demokratis,” ungkap Agung.
Ia menegaskan pola ini menimbulkan tiga persoalan serius: demokrasi PMI hanya menjadi kosmetik, fungsi Dewan Pelindung melampaui batas, dan intervensi kepala daerah bertentangan dengan asas netralitas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 1/2018.
Dampaknya, kader internal PMI yang berpengalaman dan berkapasitas sering tersisih hanya karena tidak memiliki restu politik. “Kursi ketua PMI akhirnya lebih mirip hadiah politik ketimbang hasil kontestasi gagasan,” ujar Agung.
Agung mengingatkan bahwa PMI bukan milik gubernur, bupati, atau wali kota. “PMI adalah milik rakyat. Jati dirinya harus tetap dijaga agar tidak terjerumus menjadi satelit kekuasaan,” tegasnya.







