JAKARTA, MataAktualNews.com — Krisis kualitas air di Ibu Kota kian nyata dan tidak bisa lagi diperlakukan sebagai persoalan teknis semata. Hampir seluruh sungai utama di Jakarta dilaporkan berada dalam kondisi tercemar berat, sementara air tanah dangkal yang selama ini menjadi sandaran jutaan warga juga terindikasi mengandung bakteri dan zat kimia berbahaya bagi kesehatan.
Temuan tersebut tercermin dalam studi yang dimuat Tempo edisi 16 Desember 2025, yang menunjukkan dominasi pencemaran limbah domestik sebagai sumber utama kerusakan kualitas air. Situasi ini menempatkan warga Jakarta pada risiko kesehatan yang serius, terutama di kawasan padat penduduk yang masih bergantung pada air tanah.
Direktur Jakarta Institute, Agung Nugroho, menilai kondisi tersebut mencerminkan kegagalan struktural dalam pengelolaan lingkungan perkotaan. Menurutnya, ketika sungai dan air tanah sudah berada pada tingkat tercemar berat, negara tidak boleh membiarkan warga mencari air bersih dengan risiko kesehatan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalam situasi seperti ini, penyediaan air bersih bukan lagi pilihan kebijakan, melainkan kewajiban negara untuk melindungi kesehatan publik,” tegas Agung, Rabu (17/12/2025).
Agung menekankan, menurunnya kualitas air baku justru menuntut peran PAM Jaya diperkuat, bukan sekadar sebagai operator teknis, tetapi sebagai instrumen negara dalam menjamin hak dasar warga atas air bersih dan air minum yang aman.
Ia mengingatkan bahwa air tercemar berkorelasi langsung dengan meningkatnya penyakit berbasis lingkungan, seperti diare, penyakit kulit, hingga gangguan kesehatan kronis lainnya. Karena itu, pengolahan air bersih harus dilakukan dengan standar ketat dan pengawasan mutu yang konsisten, bukan sekadar mengejar target distribusi.
Di sisi lain, ketergantungan warga Jakarta terhadap air tanah dinilai sebagai masalah laten yang belum ditangani secara serius. Selain berisiko bagi kesehatan, eksploitasi air tanah mempercepat penurunan muka tanah dan memperbesar ancaman banjir di sejumlah wilayah.
“Perluasan jaringan perpipaan harus dipercepat. Selama warga masih bergantung pada air tanah yang kualitasnya menurun, risiko kesehatan dan kerusakan lingkungan akan terus berulang,” ujarnya.
Agung juga menyoroti bahwa pencemaran air tidak bisa diurai hanya dengan memperluas layanan air bersih. Pembenahan sanitasi dan pengelolaan limbah domestik harus berjalan simultan. Tanpa itu, kualitas sumber air akan terus merosot dan biaya pengolahan air bersih akan semakin membengkak.
“Jika sanitasi dibiarkan, biaya pengolahan air akan terus naik dan pada akhirnya dibebankan ke publik. Ini bukan solusi jangka panjang,” katanya.
Ia menegaskan, air bersih dan air minum yang aman merupakan hak dasar warga kota, bukan komoditas semata. Dalam kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi, kehadiran layanan publik yang kuat, transparan, dan merata menjadi kunci perlindungan kesehatan masyarakat.
“Keberhasilan layanan air bersih tidak diukur dari berapa liter air yang dialirkan, tetapi sejauh mana negara benar-benar hadir melindungi kesehatan warganya,” pungkas Agung.
Reporter: Syahrudin Akbar
Editor: Anandra







