Di tengah derasnya arus informasi dan opini yang berseliweran setiap hari, kemampuan untuk berdiskusi secara sehat menjadi kebutuhan yang semakin mendesak. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: debat tanpa arah, saling serang tanpa dasar, dan argumen yang kehilangan pijakan logis.
Padahal, logika adalah prasyarat paling mendasar dalam sebuah diskusi yang sehat. Tanpa itu, percakapan berubah menjadi ladang pertarungan ego semata. Berdebat dengan orang yang menolak prinsip nalar ibarat mencoba menyalakan lampu di ruangan yang kabel listriknya sudah putus—bukan karena lampunya rusak, melainkan karena saluran dasarnya tidak berfungsi.
Logika bukan hanya perkara kecerdasan intelektual. Ia menuntut kerendahan hati untuk mendengar, menimbang, dan menerima kemungkinan bahwa kita bisa salah. Dalam banyak kasus, justru kesediaan mengakui kekeliruan menjadi tanda bahwa seseorang berpikir secara jernih. Namun, ketika yang terjadi adalah kebalikan—seseorang bersikukuh mempertahankan pandangan tanpa dasar, menolak bukti, bahkan memutarbalikkan fakta—diskusi pun kehilangan makna. Yang tersisa hanyalah monolog panjang yang melelahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini makin sering kita jumpai, terutama di ruang-ruang digital. Media sosial, misalnya, sering kali berubah dari ruang dialog menjadi arena pembenaran diri. Banyak yang berdiskusi bukan untuk memahami, tetapi semata-mata untuk menang. Tak peduli betapa kuat dan terstrukturnya argumen yang disampaikan, semuanya akan mental jika lawan bicara menutup diri terhadap logika dan kebenaran.
Maka, penting bagi kita untuk tahu kapan harus berdiskusi, dan kapan harus berhenti. Ini bukan soal takut kalah atau menghindar. Tapi karena tidak semua orang datang untuk mencari pemahaman. Ada yang hadir hanya untuk membungkus ego dalam balutan debat, bahkan bila itu berarti harus meninggalkan logika dan kejujuran di tengah jalan.
Dalam situasi seperti ini, kita tak perlu memaksakan diri untuk tetap ikut dalam perdebatan yang tak sehat. Sebab, diskusi tanpa logika bukan pertukaran gagasan, melainkan pertunjukan ego—dan kita tidak wajib menjadi penontonnya.
Penulis: Redaksi Mata Aktual News Editorial: Merry WM | Artikel Cerpen