
Edisi: Cerpen Mata
Oleh: Redaksi
JAKARTA, Mata Aktual News— Di sudut kedai kopi pagi itu, Udin laler termenung menatap layar ponselnya. Pesan berantai soal harga beras melambung dan berita viral tentang skandal politik memenuhi grup WhatsApp keluarganya. Ia nyaris percaya begitu saja, hingga sebuah pertanyaan melintas di benaknya: “Benarkah semua ini?”
Seperti pesan yang sering didengarnya dalam perkuliahan filsafat, ia sadar bahwa berpikir kritis harus dimulai dari keraguan. René Descartes, sang filsuf, bahkan memulai perjalanannya dari sana: “Cogito, ergo sum” — aku berpikir, maka aku ada. Bukan asal percaya, Udin pun bertanya lebih jauh. Siapa sumbernya? Apa motifnya? Dan mengapa berita itu muncul sekarang?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia ingat contoh sederhana soal harga beras. Judul berita berbunyi dramatis: “Harga sembako naik membuat rakyat sengsara.” Padahal, faktanya cuma soal kenaikan harga beras 10 persen selama tiga bulan terakhir — angka yang perlu dilihat utuh agar tidak keliru.
Di layar sebelahnya, sebuah komentar di media sosial menarik perhatiannya: “Kalau tak setuju kebijakan ini, berarti Anda anti kemajuan.” Udin tersenyum tipis. Itu contoh klasik sesat pikir false dilemma — seolah hanya ada dua pilihan ekstrem. Sebagai pembaca cerdas, ia belajar untuk mengenali logika semacam ini agar tak tertipu retorika.
Semakin dalam ia merenung, makin banyak pertanyaan muncul. “Mengapa saya percaya berita ini? Apa sebabnya? Apa hanya karena sesuai keinginan saya?” Ia paham betul bahwa logika harus dibangun dari sebab-akibat, bukan sebab-selera. Jika seseorang sukses hanya dikaitkan dengan doa, bagaimana peran kerja keras dan strategi?
Demi melatih kejernihan berpikir, Udin kemudian membuka buku catatannya dan menulis. Ia menuangkan pendapatnya soal berita-berita tadi dalam 300 kata. Dengan begitu, ide-idenya menjadi lebih konkret, lebih tertata — sama seperti Marcus Aurelius yang menulis demi menjernihkan pikirannya.
Hari itu, ia juga membuat janji bertemu Sari, teman lama yang pandangan politiknya berseberangan. Diskusi mereka hangat, kadang sengit, tapi diakhiri tawa dan pemahaman baru. Berdebat bukan untuk menang, melainkan untuk saling mengasah ketajaman berpikir.
Menjelang sore, Udin menutup layar ponsel dan menarik napas. Ia sadar bahwa logika adalah cahaya yang menuntunnya keluar dari kabut kepalsuan. Dan untuk menjaganya tetap menyala, ia harus terus belajar meragukan, memilah fakta dari opini, mengenali sesat pikir, bertanya “mengapa,” menulis, dan berdiskusi terbuka.
Sebab di zaman ini, berpikir kritis bukan lagi pilihan — melainkan kebutuhan.
Apa tantangan terbesar Anda saat berpikir kritis? Bagikan pengalaman dan sudut pandang Anda di kolom komentar. Jangan lupa sebarkan artikel ini agar lebih banyak pembaca melatih logika mereka!
Penulis: Amor | Editor: Merry WM