Jakarta, Mata Aktual News — Ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta baru-baru ini bukan sekadar insiden keamanan. Di balik dentuman itu, tersimpan kisah sunyi seorang remaja yang merasa terasing, tanpa ruang untuk bersuara dan berbagi beban emosionalnya. Polisi menyebut, faktor psikologis menjadi pemicu utama tindakan pelaku, sebuah fakta yang kini menggugah keprihatinan banyak pihak.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Iman Imanuddin, mengungkapkan bahwa pelaku ledakan mengaku mengalami tekanan emosional karena merasa sendiri.
“Pelaku mengaku tidak punya tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di rumah maupun di sekolah. Kondisi emosional inilah yang memicu tindakannya,” ujar Iman dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (11/11/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Iman, penyidik kini menelusuri lebih dalam kondisi psikologis pelaku dengan melibatkan lembaga terkait, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Investigasi tak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga pada latar belakang sosial dan emosional remaja tersebut.
KPAI menegaskan pentingnya perhatian terhadap kesejahteraan psikologis siswa di tengah tekanan akademik dan sosial yang semakin berat.
“Kasus ini adalah alarm keras. Sekolah dan keluarga harus membuka ruang komunikasi yang aman bagi anak. Banyak remaja butuh didengar sebelum mereka mengambil keputusan ekstrem,” ungkap salah satu komisioner KPAI.
Aktivis Pers sekaligus Pemimpin Redaksi Mata Aktual News, Merry Witrayeni Mursal, turut menyoroti peristiwa ini sebagai cermin krisis empati dalam sistem sosial kita.
“Ledakan di SMAN 72 bukan sekadar persoalan keamanan, tetapi sinyal darurat tentang kesehatan mental remaja kita. Banyak anak tumbuh di tengah kebisingan dunia digital, tapi hatinya sunyi karena tak punya tempat untuk berbicara,” tegas Merry.
Ia menambahkan, pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh yang humanis, bukan hanya ajang perlombaan nilai. “Guru, orang tua, dan masyarakat perlu hadir secara emosional. Remaja kita tak butuh sekadar nasihat, tapi pendampingan dan empati,” lanjutnya.
Sementara itu, pihak sekolah berjanji akan memperkuat fungsi konseling dan pengawasan terhadap siswa. “Kami akan melakukan evaluasi internal dan memastikan program pembinaan serta komunikasi siswa berjalan lebih efektif,” ujar salah satu perwakilan sekolah.
Peristiwa di SMAN 72 menjadi pengingat bahwa krisis emosional di kalangan remaja bukan isu pinggiran, tetapi masalah sosial yang nyata dan mendesak. Dentuman yang terdengar di lingkungan sekolah itu bukan hanya suara ledakan fisik, melainkan tanda bahwa ada hati muda yang terlalu lama memendam sunyi.
Reporter: Amor
Editor: Anandra







