Jakarta, Mata Aktual News– Ketua Umum Rekan Indonesia, Agung Nugroho, melontarkan kritik keras terhadap Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta. Ia menilai terdapat celah besar dalam pengelolaan darah, terutama pada tarif plasma konvalesen dan fraksionasi darah, yang membuka ruang potensi penyalahgunaan margin.
Berdasarkan data resmi, kebutuhan darah di Jakarta mencapai 1.000–1.200 kantong per hari. PMI mematok Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) Rp490.000 per kantong, sementara plasma konvalesen di rumah sakit tercatat dipatok hingga Rp2,25–2,5 juta per kantong.
Dengan selisih harga sebesar itu, Agung memperkirakan potensi surplus mencapai ratusan miliar rupiah per tahun hanya dari plasma, belum termasuk produk fraksionasi darah seperti trombosit dan kriopresipitat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pertanyaannya sederhana: ke mana larinya margin sebesar itu? Publik tidak pernah diberi laporan detail. Ini ibarat ruang gelap yang tidak tersentuh audit,” ujar Agung Nugroho dalam keterangan tertulis, Jumat (12/9/2025).
Agung menekankan, darah bukanlah komoditas, melainkan amanat kemanusiaan. Karena itulah, setiap rupiah dari pengelolaan darah harus bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.
Menurutnya, ada tiga titik rawan yang bisa menjadi pintu penyalahgunaan:
- Ketiadaan transparansi laporan pendapatan plasma dan fraksionasi darah.
- Tidak adanya audit independen atas pengelolaan dana PMI DKI.
- Monopoli distribusi darah tanpa kontrol publik.
Agung menjelaskan, secara hukum PMI memang menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengelola pengumpulan dan distribusi darah di Indonesia. Rumah sakit maupun masyarakat tidak punya alternatif lain. Namun, kondisi monopoli ini menjadi rawan penyalahgunaan ketika tidak dibarengi mekanisme transparansi dan pengawasan yang ketat.
“Karena sifatnya monopoli, masyarakat terpaksa tunduk pada kebijakan tarif yang ditetapkan. Kalau tidak ada transparansi dan audit independen, ruang untuk mark-up dan komersialisasi makin terbuka lebar,” tegas Agung.
Ia pun mendesak Pemprov DKI dan BPK turun tangan.
“Kami mendesak audit independen menyeluruh. Jika memang margin dari plasma dipakai untuk operasional, sebutkan berapa besarannya, alokasinya ke mana, dan siapa yang mengawasi. Kalau tidak, ini berpotensi menjadi ladang bisnis atas nama kemanusiaan,” katanya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa situasi ini bukan sekadar soal akuntabilitas lembaga, tetapi juga menyangkut hak hidup warga Jakarta.
“Setiap tetes darah disumbangkan rakyat dengan ikhlas. Jangan sampai darah yang lahir dari solidaritas berubah menjadi instrumen komersialisasi. Transparansi adalah harga mati,” ujarnya.







