Oleh: Jeffry
Redaksi Mata Aktual News
Mata Aktual, [Edisi Cerpen] Di negeri yang katanya kaya raya, warga masih harus jatuh bangun melintasi jalan penuh lubang. Di negeri yang katanya demokratis, suara rakyat kalah nyaring dari bunyi mesin aspal yang hanya digelar saat menjelang pemilu.
Tapi tidak bagi Zefferi Komeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bukan anggota dewan. Tak punya gelar insinyur atau master perencanaan wilayah. Tapi suaranya lebih keras dari toa kampanye dan lebih jujur dari janji pejabat di spanduk murahan.
Setiap pagi, Zefferi menyusuri jalan-jalan kabupaten—yang lebih mirip medan perang—dengan motor butut dan kamera ponsel. Ia rekam, ia kritik, dan ia tunjuk siapa yang harus bertanggung jawab.
“APBD triliunan, tapi warga mati konyol karena jalan rusak. Ini bukan salah takdir, ini dosa sistem.”
Itu kalimat yang pernah ia teriakkan di depan kantor dinas. Tak sekali dua kali ia diusir. Pernah pula dipanggil “pengganggu ketertiban”. Tapi ketertiban mana, jika jalan berlubang jadi pemandangan tetap?
Zefferi tak peduli dipanggil provokator. Baginya, lebih hina menjadi pemimpin yang membiarkan rakyat celaka.
Satu kali, ia unggah video seorang ibu jatuh dari motor karena lubang dalam di Jalan Raya Parung. Tiga hari kemudian, jalan itu ditambal—asal-asalan. Ia datangi kantor kontraktor:
“Kalian tambal untuk rakyat atau untuk tender?”
Jawabannya? Sunyi dan pintu tertutup.
Zefferi bukan pahlawan. Tapi ia bukti bahwa satu suara jujur bisa membuat para pejabat tidur tak nyenyak. Selama masih ada anggaran diselewengkan dan proyek dikorupsi, Zefferi Komeng tak akan diam.
“Karena rakyat tak butuh baliho. Rakyat butuh keadilan di jalan.”
Cerpen Mingguan – Rubrik Opini & Kehidupan
Bersambung ke bagian Selanjutnya