JAKARTA, Mata Aktual News — Dalam tiga hari terakhir, nama Syamsul Jahidin mendadak menjadi sorotan publik. Bukan pejabat, bukan perwira, bukan pula tokoh parpol. Ia adalah mantan satpam—ya, benar, satpam—yang kini mencatatkan jejak besar dalam sejarah hukum Indonesia. Langkahnya menggugat norma rangkap jabatan anggota Polri di ranah sipil telah berujung pada putusan monumental Mahkamah Konstitusi: 4.351 polisi aktif wajib kembali ke markas dan tak lagi menduduki jabatan sipil.
Di tengah riuh rendah wacana negara yang sering kali dikuasai aktor-aktor besar, hadir sosok sederhana asal Pangesangan, Mataram, NTB, yang membuktikan bahwa keberanian bisa lahir dari tempat paling sunyi—pos satpam.
Dari Pos Satpam ke Ruang Konstitusi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syamsul Jahidin tumbuh bukan dari keluarga elit birokrasi. Ia menempuh jalan berliku: kuliah sambil bekerja sebagai satpam. Ketika banyak anak muda seusianya sibuk memburu estetika media sosial, Syamsul berjaga pada shift malam demi membiayai pendidikan dan mimpinya.
Deretan pendidikannya tidak sembarangan:
S1 Komunikasi
S1 Hukum
S2 Komunikasi
Magister Hukum Militer
Saat ini menempuh S3 Hukum
Ilmu baginya bukan pajangan, melainkan peluru untuk menghadapi ketidakadilan.
Gugatan yang Mengguncang Sistem
Ketika ribuan polisi aktif mengisi jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara, masyarakat hanya menganggap itu sebagai realitas yang tak tersentuh. Namun Syamsul melihat celah dan ketimpangan yang tak boleh dibiarkan. Ia melayangkan gugatan ke MK dan mengajukan pertanyaan tajam:
“Mengapa polisi boleh rangkap jabatan, sementara rakyat biasa dilarang rangkap kerja?”
Pertanyaan sederhana ini menggema hingga diputuskan MK. Putusan itu menjadi pukulan keras bagi birokrasi yang sudah lama berjalan di zona nyaman.
Reaksi Publik dan Makna Besar Sebuah Keberanian
Sejumlah pejabat harus melakukan penyesuaian. Ruang-ruang rapat kehilangan wajah yang biasa hadir. Namun publik justru menerima kabar ini sebagai momentum berbenah.
Syamsul sebelumnya juga dikenal berani menggugat pangkat tituler Letkol Deddy Corbuzier, menangani kasus bayi tertukar, serta menjadi mediator di lima pengadilan. Baginya, hukum bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diperjuangkan.
Motonya, “Berani, Benar, Berhasil,” bukan sekadar slogan. Ia membuktikan bahwa satu pena bisa lebih tajam daripada lencana.
Pandangan dari Dunia Jurnalistik
Ketua Umum DPP Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI), Balham Waja SH, memberikan apresiasi tinggi terhadap langkah Syamsul Jahidin yang dianggap mencerminkan keberanian hukum dan kedewasaan demokrasi.
“Keberanian Syamsul adalah cermin bahwa supremasi hukum masih hidup. Ini bukti bahwa warga negara, siapapun dia, memiliki ruang untuk mengoreksi kebijakan yang tidak adil. AWDI mendukung setiap upaya yang memperkuat konstitusi dan menegakkan prinsip equality before the law,” tegas Balham Waja SH.
Ia menambahkan, perjuangan Syamsul menjadi pengingat bahwa profesi apa pun dapat melahirkan tokoh besar selama dilandasi integritas.
Pantun Inspiratif dari AWDI
Ke kota Mataram beli kopi wangi,
Langkah kecilnya kini mengguncang negeri.
Satpam berani menggugat pasal yang sunyi,
Namanya terangkat tegak membela konstitusi.
Pagi cerah burung pun bernyanyi,
Ribuan polisi kembali ke markas sendiri.
Syamsul maju tanpa rasa gentar di hati,
Satu pena menampar sistem yang lama berdiri.
Di depan gerbang tampak penjaga berdiri,
Tegas menjaga aturan tanpa pernah lari.
Syamsul menantang kuasa yang bergigi,
Karena benar itu berani, dan berani itu berarti.
Perjalanan Syamsul Jahidin membuktikan satu hal: Keberanian tidak membutuhkan pangkat. Hanya membutuhkan tekad.
Dari pos kecil di gerbang, ia kini menjaga pintu konstitusi negara. Dan sejarah akan mencatat bahwa seorang mantan satpam dari Mataram pernah mengguncang 4.351 polisi hanya dengan logika, hukum, dan sebuah pena.
Mata Aktual News — Aktual, Tajam, Terpercaya.







