Jakarta — Mata Aktual News.
Peringatan Hari Guru 2025 kembali menjadi pengingat pentingnya peran pendidik sebagai penjaga moralitas dalam dunia pendidikan. Di tengah meningkatnya laporan pungutan liar berkedok “sumbangan komite sekolah”, integritas guru disebut sebagai benteng utama untuk memastikan sekolah tetap menjadi ruang belajar yang aman dan bersih dari praktik merugikan.
Direktur Jakarta Institute, Agung Nugroho, menegaskan bahwa tantangan integritas di sekolah nyata dan mengkhawatirkan. Sejumlah temuan Ombudsman di berbagai daerah memperlihatkan bagaimana komite sekolah kerap disalahgunakan sebagai sarana pungutan yang mengikat orang tua murid.
Di Nusa Tenggara Timur, Ombudsman mencatat adanya pungutan pendaftaran ulang yang dipadukan dengan “sumbangan komite” hingga Rp150 ribu per bulan. Sementara di Bangka Belitung, keluhan muncul dari orang tua SD dan SMP terkait pungutan kegiatan perpisahan yang mencapai Rp300–400 ribu per siswa. Dalam beberapa kasus, sekolah bahkan diminta mengembalikan dana pungutan setelah dinyatakan melanggar aturan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski DKI Jakarta tidak pernah mengumumkan kasus besar dalam beberapa tahun terakhir, potensi penyimpangan tetap ada. Dinas Pendidikan DKI secara resmi membuka kanal pengaduan bagi pelajar dan orang tua jika menemukan pungutan apa pun di sekolah. Ombudsman RI juga mengingatkan bahwa komite sekolah berisiko berubah menjadi “lembaga tukang pungut” bila sumbangan dikemas sedemikian rupa hingga terkesan wajib.
Agung menilai kondisi ini menempatkan guru pada ujian moral. “Ketika komite berubah menjadi alat pungutan, guru sebenarnya sedang diuji: apakah berdiri bersama murid dan orang tua, atau ikut dalam praktik yang membebani?” ujar Agung dalam keterangannya, Selasa.(25/11/2025)
Menurutnya, guru yang memilih menolak pungutan tidak sah bukan hanya mematuhi regulasi, tetapi menjaga martabat profesi dan memberikan teladan kejujuran kepada peserta didik. “Integritas bukan sekadar materi pelajaran, tetapi keputusan yang diambil setiap hari,” katanya.
Bagi sebagian besar keluarga, pungutan tambahan bukan sekadar nominal, melainkan beban psikologis di tengah biaya hidup yang terus meningkat. Keberadaan guru yang menolak pungutan ilegal membuat sekolah kembali pada hakikatnya: ruang tumbuh, bukan ruang transaksi.
Agung berharap momentum Hari Guru dapat menjadi refleksi bersama. “Mereka yang menjaga integritas adalah penjaga pagar moral pendidikan. Mereka memastikan partisipasi orang tua tetap sukarela, bukan paksaan terselubung,” ujarnya.
Dengan keteguhan para guru berintegritas, publik diyakini dapat kembali menaruh harapan bahwa masa depan pendidikan Indonesia dibangun melalui keteladanan, bukan sekadar kebijakan.
Reporter: Syahrudin Akbar
Editor: Anandra







